Parenting challenges in the 21st century

Siapkah Anda menjadi orang tua?

Photo by Caleb Oquendo on Pexels.com

Personally, saya sudah menyandang jabatan orang tua atau ‘Mommy’ sejak melahirkan anak pertama saya di tahun 2006 silam. Jadi bukan hal baru untuk saya dalam urusan mendidik anak. Tetapi dalam perjalanan saya sebagai orang tua ternyata ada 2 pengalaman mengejutkan yang membuat cara pandang saya berubah di dalam menjalani peran tersebut. Kejutan pertama saya berasal dari anak ke-2 saya, seorang putri mungil cantik yang bawelnya melebihi saya 🙂 pada tahun 2014 yang lalu.

Selama hampir 4 tahun saya tidak pernah menghadapi masalah yang berarti dalam membesarkan dan mendidik Kakaknya sebelum akhirnya putri kecil ini lahir di tahun 2010. Sehingga sampai dengan ia berusia 4 tahun saya pikir saya sudah tahu segalanya dalam urusan mendidik anak. Namun ternyata 3 bulan pertama di tahun 2014 saya dibuat menjadi kalut, pusing, sampai di satu titik hanya bisa pasrah bertanya pada Tuhan “saya gak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi putri kecil saya ini, tolong beri saya petunjuk.”

Sepanjang 3 bulan itu, putri kecil saya ini membuat banyak sekali tindakan yang tidak pernah terpikirkan akan terjadi atau bisa dilakukan oleh anak seusianya. Beberapa hal di antaranya: marah tidak terkendali, berteriak, menangis sampai hampir 1 jam, keras kepala dan selalu mau menang sendiri, merebut, menendang, mencakar, melakukan yang sebaliknya dari apa yang kami minta. Hampir setiap malam terjadi ‘drama’ hanya untuk meminta dia tidur cepat karena di pagi harinya sering terlambat bangun ke sekolah. Hukuman setrap duduk di kursi hukuman sudah seringkali diterapkan namun berulang kali dia akan seperti itu. Dengan kondisi kami sebagai orang tua yang setiap hari sampai di rumah dari kantor jam 7-8 malam kelelahan akibat macet, belum makan malam, dan masih harus menghadapi ulah anak, tingkat kemarahan kami seringkali sudah tidak bisa dibendung, seberapapun kami mencoba keras untuk bersabar. 4 orang pembantu di rumah kami (2 diantaranya babysitter) pun mundur dengan alasan tidak bisa menghadapi putri saya. Shock! Bagaimana caranya anak usia 4 tahun yang mungil ini bisa membuat orang dewasa kewalahan.

Akhirnya petunjuk dari Tuhanpun diberikan di bulan Maret, saat putri saya menelpon ayahnya dan berkata bahwa dia kangen dengan Mbak-nya yang pulang kampung sejak Desember dan tidak balik lagi. OMG! Setelah 3 bulan kemudian dia masih menanyakan Mbak ini. Ternyata dia kehilangan sosok yang selama ini menemani dia selama 1,5 tahun, yang bisa memuaskan keinginan hatinya dan dia tidak mendapatkannya dari orang lain maupun orang tuanya sendiri, paling tidak orang tuanya hanya punya waktu cukup untuknya setiap Sabtu dan Minggu, karena setiap hari kerja hanya punya waktu 30 menit di pagi hari dan 1 – 2 jam di malam hari. Itu ternyata tidak cukup baginya. Itu merupakan sebuah ‘turning point’ untuk kami terutama saya. Selama ini kami pikir dia menjadi anak yang nakal, tidak mau menurut kata orang tua, padahal kenyataannya dia yang ‘kehilangan’, sedih, bingung, mencari kenyamanan di hatinya tetapi tidak bisa mengungkapkan apa penyebabnya. Saat saya menyadari ini, pandangan saya langsung berubah dan berupaya meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengarkan ceritanya, sebisanya pulang kantor lebih cepat dan sampai akhirnya mengambil sebuah keputusan drastis: Berhenti bekerja! Ya, di posisi terakhir saya, sebagai Head of Department tuntutan pekerjaan saya, dan organisasi dimana saya bekerja, sudah tidak memungkinkan untuk saya bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk anak-anak saya.

People used to say you can’t have it all, or you can have it all just not at the same time!

Awalnya saya memang menerima tawaran dari perusahaan untuk mengambil Unpaid Leave selama 2 bulan, namun sebuah perubahan besar yang saya lihat terjadi pada putri saya 2 minggu setelah saya di rumah membuat saya lebih yakin untuk tidak kembali bekerja secara permanen dahulu. Truly amazing, perubahan yang saya lihat terjadi padanya hampir bisa dikatakan 180%. Seakan 3 bulan di awal tahun 2014 lalu bukanlah ia yang sebenarnya, she was like somebody else. Sepanjang hari saya mengantar dan menjemputnya sekolah, les dan meluangkan waktu bermain dengan dia. Walaupun kadang sesekali saya keluar rumah, dia terlihat tidak keberatan. Saya meluangkan waktu mengajarinya membaca, sampai dengan 4,5 tahun dia belum bisa membaca sedangkan Kakaknya sudah bisa membaca sejak 4 tahun. Dalam waktu 1 bulan saya mengajarinya dia sudah bisa membaca bahkan dia menjadi murid yang paling pintar membaca dibandingkan anak sekelasnya. Satu bulan setelah saya berhenti, saya diundang hadir ke acara kenaikan kelas dimana di sana saya dikejutkan dengan fakta bahwa putri kecil saya ini memenangkan piala Juara di bidang Kognitif. Tidak habis pikir dan sangat terharunya saya melihat ini. Sementara di rumah rasanya saya baru saja mendamaikan perang yang terasa tiada ujungnya ternyata di sekolah dia adalah anak yang berprestasi.

Akhirnya, saya memutuskan mengajak dia ke Psikolog anak untuk berkonsultasi karena saya ingin tau lebih dalam lagi bagaimana cara agar saya bisa berkomunikasi lebih baik lagi dengan dia. Melalui sebuah test menggambar dan percakapan dengan Psikolog-lah, sebagian isi hati dan perasaan putri saya terungkap. Ia adalah seorang anak yang cerdas bahkan kemampuan kognitifnya lebih superior dibanding anak seusianya. Dia membutuhkan banyak jawaban untuk segudang pertanyaan yang ada di kepalanya. Otaknya tidak pernah berhenti berputar dan selalu menganalisa apapun yang dia lihat dan dengar. Dia membutuhkan seseorang yang punya banyak sumber daya yang bisa menjawab semua keingintahuannya dan pastinya tidak bisa didapatkan hanya dari seorang pembantu rumah tangga atau babysitter. Satu hal yang tidak bisa saya lupa adalah perkataan Psikolog tersebut kepada saya yang membuat saya menangis “Ibu sudah membuat keputusan tepat dengan berhenti bekerja.” Ya Tuhan, rasanya merinding, karena sejujurnya keputusan berhenti bekerja kali ini merupakan hal yang berat untuk dilakukan mengingat besarnya pendapatan yang harus saya lepas dari pekerjaan tersebut. Tetapi perkataan Psikolog ini benar-benar membuat saya merasa lega dan dikuatkan. Psikolog itu juga mengatakan bahwa ada kemarahan dan agresifitas dalam diri putri saya yang masih belum terlepas oleh sebab itu dengan pendampingan orang tua yang tepat lambat laun diharapkan dia akan memiliki emosi yang lebih seimbang.

Putri saya saat ini sudah kelas 6 SD dan bertumbuh cerdas secara kognitif meskipun secara emosi kadang masih ada momen dimana dia masih sulit mengontrolnya tetapi secara keseluruhan ia sudah sangat baik. Dia berhasil mengembangkan bakatnya dalam seni, yaitu: menggambar dan bernyanyi. Dia sekarang juga sudah lebih mandiri dan sangat dewasa untuk usianya. Kadang kamipun bingung dengan kedewasaan berpikirnya yang lebih cepat daripada Kakaknya dahulu waktu seusianya. Ini membuktikan bahwa anak di abad ini secara genetik pertumbuhannya sangat pesat dibandingkan dahulu, cara mereka berpikir, menganalisa, berlogika, selera makan, selera musik, cara bermain semuanya sangat jauh lebih advance dibanding jaman dahulu. Ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi. Oleh sebab itu cara kita sebagai orang tua mendidik anak sudah tidak relevan jika masih menggunakan cara mendidik jaman dahulu. Cara guru-guru di sekolah mendidik anak-anak jika masih mengandalkan textbook saja tidak lagi relevan untuk mengembangkan potensi anak-anak abad 21 ini.

Nah, kejutan saya yang kedua adalah saat saya menghadiri sebuah Seminar Parenting di bulan Mei 2016 dimana beberapa pembicaranya adalah seorang pakar Creative Technology dalam pendidikan yang juga mantan Kepala Sekolah sebuah institusi pendidikan asing, dan Kak Seto Mulyadi yang terkenal sebagai pakar pendidikan. Judul seminar tersebut adalah “The Future of Education”. Hmm…. Seperti apa pendidikan di masa mendatang?

Secara singkat saya akan simpulkan sebagai berikut:

  1. Kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia sangat cepat dan lebih cepat dari kemampuan seorang guru bisa beradaptasi dengan perkembangan ilmu ini. Saya berkata demikian mewakili mungkin sekitar 50% tenaga guru yang ada saat ini yang mayoritas adalah guru-guru lama (usia di atas 45 tahun) yang masih mengadopsi cara mengajar tradisional yang sangat mengandalkan textbook (buku pelajaran wajib). 
  2. Kemampuan anak menyerap informasi sangatlah cepat, seperti yang terjadi pada anak saya secara genetik otak mereka berputar cepat dan rasa ingin tahu mereka besar, namun mereka belum tentu mendapatkan jawaban atau pengetahuan yang sebanyak yang mereka ingin tahu. Informasi yang diberikan kepada mereka hanya sebatas apa yang ada di textbook wajib saja. Ditambah lagi jika orang tuanya juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak memberikan tambahan pengetahuan pada anak-anaknya. Sehingga mereka mencari jawabannya di internet. Sedangkan tidak semua informasi di internet itu 100% tepat sehingga perlu adanya peran orang tua dan guru yang mendampingi mereka. For your info, bukan hanya pengetahuan, hoaks pun berkembang cepat di internet dan sosial media.
  3. Kurikulum Indonesia di sekolah Nasional sangat padat dan cenderung kejar tayang, sehingga tidak ada banyak waktu untuk guru memberikan materi ‘pengayaan” atau enrichment di luar textbook kepada anak-anak. Padahal enrichment program, penggunaan Information Creative Technology sudah diterapkan di negara maju sejak sebelum tahun 2000. Sehingga banyak anak di negara maju yang memiliki pengetahuan lebih luas dibandingkan anak Indonesia yang bersekolah di sekolah Nasional. Metode pengajaran masih curriculum driven belum enrichment program driven atau project driven dan belum melatih kemampuan Higher Order Thinking Skill (HOTS) / nalar dan kemampuan menulis essay mereka.
  4. Tibalah saatnya sekarang MEA (masyarakat ekonomi Asean) yang membuat 5 – 10 tahun mendatang persaingan usaha atau mencari pekerjaan akan diperebutkan oleh anak-anak lulusan dari semua negara Asia bukan antar anak Indonesia saja. The Biggest Shocking Question is: Is Our Child Ready to compete? Apakah anak kita sudah siap bersaing?

Intinya, peran orang tua dan guru semakin dibutuhkan sebagai sumber pengetahuan anak. Orang tua harus bisa berperan sebagai guru sekaligus fasilitator untuk anak. Tidak bisa lagi kita harapkan anak diberikan buku, duduk diam dan belajar sendiri. Gaya belajar mereka berbeda. Mereka membutuhkan ruang gerak, live experience, touch, feel, watch and browse all information untuk bisa mereka cerna di otak mereka yang sangat kritis.

Orang tua tidak bisa bahkan tidak boleh hanya memberikan gadget sekedar untuk anak bisa duduk diam, tidak berisik dan memberikan anak games apapun. Seharusnya gadget menjadi alat untuk memberikan enrichment knowledge bagi anak dengan mendownload apps atau knowledge tertentu yang berguna untuk menambah ilmu pengetahuan anak, sehingga saat anak bermain mereka juga sekaligus belajar. Sebagai fasilitator, orang tua wajib mencari tahu semua apps atau situs yang berguna untuk anak dan menyediakannya untuk anak dan siap mendampingi dan menjawab pertanyaan anak-anak atau bahkan belajar bersama-sama dengan anak-anak. Oleh sebab itu menjadi orang tua jaman now kita juga masih perlu belajar bukan?

Penting untuk diingat memberikan pengetahuan lewat gadget juga harus disertai dengan monitoring dan filter yang cukup baik dari hardwarenya maupun supervisi orang dewasa di rumah. Karena sayangnya jaman sekarang kejahatan dunia maya – cyber crime pun sangat berbahaya untuk anak-anak kita dan bisa menyusup dalam berbagai bentuk, sampai kata kunci yang kita pikir amanpun untuk anak dalam google search bisa memunculkan link atau gambar pornografi. Secara hardware lakukan blocking sedemikian rupa sehingga situs-situs yang tidak untuk anak-anak tidak bisa diakses. Secara waktu batasi pemakaian gadget (fitur screen time) dan pastikan misalnya jam 9 malam semua gadget dikumpulkan di ruang khusus dan tidak dibawa ke kamar tidur anak.

Ternyata peranan orang tua abad 21 ini semakin rumit, kompleks dan menantang. Peranan orang tua jadi semakin lebih besar dampaknya dibanding dahulu. Jadi punya anak itu bukan sekedar siklus hidup yang harus dijalani layaknya urutan memasak/bikin kue: habis menikah – hamil – melahirkan – cari suster/mbak untuk ngurusin anak.

Ada seorang ibu berkuku cantik hasil manicure yang pernah bilang begini ke saya sewaktu saya menjadi Principal sebuah institusi pendidikan (center) dahulu “aduh saya mah emang gak bisa ngurus anak, jadinya suster itu bener-bener andalan saya.” Ada juga seorang suster yang rajin sekali ajak anak anak asuhnya datang ke center untuk bermain dan berkata “aduh ini anak mah emang disuruh maminya ke sini setiap hari daripada di apartemen ganggu maminya mau tidur siang.” Prihatin 😦

Saya kadang suka bercanda sama teman bilang “Yahhh inilah nasib jadi orang tua, siapa suruh punya anak. Mau punya anak harus berani bertanggung jawab kan?”

Jadi sudah siapkah Anda menjadi orang tua di abad 21 ini?

Lebaran: Happiness or Nightmare for Moms ?

Photo by Max Vakhtbovych on Pexels.com

Baru-baru ini melihat sebuah postingan kocak yang isinya mudik tahun 2022 sudah diperbolehkan tapi yang ditakutkan sebenarnya bukan terjadinya lonjakan kasus covid tapi takut Mbak gak balik lagi – itu yang lebih horor hahaha….. pastinya banyak yang nyambung banget sama postingan ini. Tapi kali ini saya kok tergelitik untuk membahas sudut pandang lainnya.

Sebagai Ibu dengan dua anak yang kesehariannya sebelum pandemi bekerja di kantor selama 5 hari seminggu dari jam 7:30 sudah berangkat kerja dan pulang paling cepat jam 6 sore dengan kemacetan Jakarta kadang bisa sampai jam 7 malam. Maka waktu ngobrol dengan anak hanya saat makan malam, itu juga kalau mereka belum selesai makan malam saat suami dan saya sampai di rumah. Jadi family dinner time itu saya anggap sesuatu yang sangat berharga karena di saat itulah kami bisa bertukar cerita atau lebih tepatnya mendengarkan anak bercerita tentang apa yang mereka alami di hari itu. Saat dinner time itu juga yang dipergunakan kami sebagai orang tua untuk memberikan nasihat, sharing pengalaman hidup, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Anak jaman now pertanyaannya sudah sangat berbobot dan mendalam meskipun usia baru 11 dan 15 tahun lho. Orang tua kadang harus putar otak untuk bisa menjelaskan hal sulit dengan bahasa yang mudah mereka pahami.

Sehingga akhirnya saat momen Lebaran umumnya kami mengambil cuti panjang sehingga bisa ada di rumah kurang lebih 2 minggu sambil menunggu ART kami balik dari mudik. Di momen Lebaran itu tentunya kami berempat punya all the times in the world untuk selalu bersama-sama. Tapi buat para Ibu terutama jadi ada tanggung jawab tambahan yang biasanya tidak pernah / jarang dikerjakan yaitu: memasak, karena tidak mungkin 14 hari order makanan atau makan di restoran pagi, siang, malam bukan? bisa habis donk THR hehehe……….. serta mencuci baju, menjemur dan menyetrika. Belum lagi ada tanaman yang harus disiram setiap hari agar tidak mati, belum lagi kalau masih ada anak di bawah usia 9 tahun yang masih butuh perhatian extra, gak mungkin donk anak dibiarkan seharian ditemenin sama gadget saja. Nah hal-hal ini yang kadang katanya menjadi “nightmare” buat para ibu terutama ibu-ibu yang biasa kerja kantoran terutama karena terjadi transisi dari yang biasanya bekerja lebih banyak duduk di belakang komputer dan putar otak minimal jari-jari yang terlatih mengetik mendadak harus bekerja secara fisik. Naik turun tangga, berdiri non stop bisa sampai 3 jam, melakukan gerakan fisik berulang yang melibatkan tangan, pinggang, punggung, kaki yang jika tidak rajin olahraga bisa menimbulkan masalah seperti rasa pegal yang tidak hilang atau malah keseleo/salah urat istilahnya atau ototnya atau persendiannya ngambek, meradang karena terlalu sering bermain dengan air misalnya jari-jari tangan jadi kaku saat malam menjelang pagi. Mau menghindari hal ini bisa saja ambil saja liburan selama 14 hari dengan menginap di hotel….. tapi imbasnya keluar ekstra biaya, biaya tidur, makan, dan cuci baju sampai biaya belanja.

Jadi apakah ada solusinya agar momen Lebaran ini tidak menjadi nightmare setiap tahun? Mungkin gak sih momen ini menjadi momen yang membahagiakan terutama buat para Mommies?

Jawabannya mungkin, tinggal dicari solusinya. Semua hal pasti ada jalan keluar.

  1. BAGI TUGAS

Seringkali saya temukan banyak dari para ibu ini merasa bahwa pekerjaan rumah hanya akan beres kalau mereka kerjakan sendiri, termasuk awalnya saya sendiri. “Aduh mendingan gw kerjain sendiri deh daripada dikerjakan sama anak nanti gak beres, atau minta tolong suami bisa lama deh.” Alhasil, semakin bertambah usia maka semua pekerjaan rumah yang kita kerjakan sendiri ini bukan hanya semakin menyita waktu kita kumpul bersama keluarga, tapi juga semakin merusak badan sendiri, serta yang paling bahaya merusak mood dan emosi diri sendiri juga. Kelelahan fisik, merasa yang lain bisa enak-enak nonton TV, main games, leha-leha sedangkan kita sendirian kerja dari pagi sampai sore sendirian dan gak bisa menikmati liburan, akhirnya mulai bete, mulai short fuse (sumbu pendek) dan berdampak ke anggota keluarga yang lain. Kuncinya adalah komunikasikan pikiran dan perasaan kita kepada suami dan anggota keluarga lainnya (jika anak-anak sudah cukup dewasa secara pemikiran). Sejak beberapa tahun silam akhirnya kami berbagi tugas, saya beruntung bahwa saya memiliki suami yang dengan senang hati menyapu, mengepel lantai, memasukkan semua pakaian kotor ke dalam mesin cuci, menjemur pakaian, mencuci piring, mengumpulkan sampah- sampah satu rumah dan digantung dengan plastik di depan pagar untuk diambil tukang sampah keliling setiap pagi, sampai menyiram tanaman. Tentu saja agar memenuhi standar ideal kita para ibu, kita harus mentransfer ilmu terlebih dahulu bagaimana caranya menjemur yang benar, baju mana yang bisa masuk mesin cuci mana yang tidak, sabut mana yang dipakai untuk mencuci kuali yang kotor, mana yang anti gores, mana yang untuk gelas. Saat si Kakak semakin besar seingat saya mulai usia 13 tahun mulai mencuci piring makannya sendiri demikian juga sang adik. Lalu semakin besar mereka, mulai ikut membantu menjemur pakaian juga, mengumpulkan pakaian yang sudah kering dan mulai melipat baju-baju rumah untuk dimasukkan ke dalam lemari. Yes, baju rumah tidak perlu disetrika selama masa lebaran praktis kan……. Sehingga tanpa terasa tugas kita para ibu sudah jauh berkurang sehingga kita bisa fokus pada memasak makanan untuk keluarga, mencuci baju yang harus pakai tangan, menyetrika pakaian-pakaian pergi atau membersihkan dapur, meja, dan lemari dari debu (dua hari sekali cukup). Hal ini mengurangi kelelahan para ibu sehingga punya banyak waktu untuk ngobrol bersama-sama dengan keluarga, main games bareng atau nonton film bareng atau istirahat tidur siang.

2. BUAT STRATEGI MASAK

Salah satu cara menyiasati agar kegiatan memasak inipun tidak menjadi momok “menyeramkan” atau melelahkan buat para ibu. Sebelum Mbak mudik tentunya saya sudah meminta Mbak menyiapkan beberapa bekal untuk kami. Pertama, membuatkan ayam kuning dan ayam kalasan, empal daging, rendang yang dibekukan, sehingga saya tinggal menggoreng/memanaskan saja saat dibutuhkan. Menyiapkan bumbu dasar uleg/giling yaitu masing-masing bawang merah, bawang putih, cabai, kemiri, serta bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas sehingga siap diiris saja saat mau memasak atau kalau mau praktis ya beli bumbu siap saji di supermarket tetapi umumnya mengandung msg ya…… bisa juga membeli bumbu siap saji ini di pasar.

Membuat sarapan dengan sesuatu yang simpel seperti roti, telor, sosis tentunya praktis dan cepat. Membuat makan siang yang lebih enak dan lengkap sedikit. Sedangkan malam buat masakan yang lebih sederhana seperti spaghetti atau nasi goreng atau cah sayuran/shabu-shabu. Sesekali beli makanan dari luar untuk makan malam juga sangat membantu sehingga praktis tidak perlu mencuci piring di malam hari.

Jika anak mulai dewasa seperti SMA misalnya mulai ajari mereka untuk memasak makanan simpel seperti goreng sosis dan telor dadar atau scramble egg, dan nasi goreng atau membuat sushi (dalam bahasa indonesia nasi kepel bisa isi apa saja, abon, telor dadar, ikan salmon yang dipanggang) sehingga mereka bisa membuatnya sesekali. Ini juga sangat membantu sekaligus melatih kemandirian mereka.

3. AMBIL WAKTU LIBURAN

Sebagian dari 14 hari cuti lebaran, selain dari merayakan momen lebaran dan bersilahturahmi dengan keluarga tentu sebaiknya tetap dipergunakan untuk berlibur misalnya 7 hari liburan ke tempat wisata yang menyenangkan sehingga semua menikmati waktu “freedom”. Bebas dari tugas, pekerjaan dan rutinitas sehari-hari dan hanya menikmati pemandangan, rileks, olahraga bersama keluarga, makan, dan bermain-main bersama keluarga. Ini tentunya sangat bagus untuk meningkatkan mood bahagia, memberikan diri sendiri “self reward” dan “me time”. Tentunya selama berlibur ini batasi penggunaan HP atau laptop kita dan benar-benar perbanyak waktu untuk melakukan kegiatan dan ngobrol bersama keluarga. Making beautiful memories with them. Banyak hal-hal yang bisa kita pelajari dari anak-anak kita dan juga sebaliknya selama liburan ini, satu hal yang pasti hal ini mempererat hubungan antar anggota keluarga.

4. PAKAI JASA LAUNDRY

Untuk yang tidak mau repot bawa baju/koper terlalu banyak selama berlibur, kita bisa pakai jasa laundry yang banyak di sekitar kota tujuan wisata, tinggal lakukan survei dan pilih yang tepercaya bahkan jasa ini bisa melakukan pick up dan deliver dari/ke hotel tempat kita menginap. Harganya pun sangat terjangkau dan yang pasti lebih murah dari laundry di hotel 🙂

Sesampainya kembali di rumah, jangan terlalu kepikiran urusan cucian baju, pilah baju-baju kotor yang ada dan bawa semua pakaian ini ke laundry kiloan terdekat yang tepercaya. Praktis kan. Sisanya bisa dicuci sendiri sehingga tidak terlalu membebani.

Nah dengan melakukan beberapa cara di atas paling tidak setiap kita bisa tetap merasakan kebahagiaan bersama keluarga meskipun tidak ada si mbak di rumah sehingga lebaran menjadi momen happiness dan bukan “nightmare” buat para Moms di luar sana. Sedangkan urusan si mbak bakal balik lagi atau enggaknya habis lebaran – hmmm….. mungkin buat sebagian Moms masih tetap menjadi momen “horror” kali ya? 🙂