Parenting challenges in the 21st century

Siapkah Anda menjadi orang tua?

Photo by Caleb Oquendo on Pexels.com

Personally, saya sudah menyandang jabatan orang tua atau ‘Mommy’ sejak melahirkan anak pertama saya di tahun 2006 silam. Jadi bukan hal baru untuk saya dalam urusan mendidik anak. Tetapi dalam perjalanan saya sebagai orang tua ternyata ada 2 pengalaman mengejutkan yang membuat cara pandang saya berubah di dalam menjalani peran tersebut. Kejutan pertama saya berasal dari anak ke-2 saya, seorang putri mungil cantik yang bawelnya melebihi saya 🙂 pada tahun 2014 yang lalu.

Selama hampir 4 tahun saya tidak pernah menghadapi masalah yang berarti dalam membesarkan dan mendidik Kakaknya sebelum akhirnya putri kecil ini lahir di tahun 2010. Sehingga sampai dengan ia berusia 4 tahun saya pikir saya sudah tahu segalanya dalam urusan mendidik anak. Namun ternyata 3 bulan pertama di tahun 2014 saya dibuat menjadi kalut, pusing, sampai di satu titik hanya bisa pasrah bertanya pada Tuhan “saya gak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi putri kecil saya ini, tolong beri saya petunjuk.”

Sepanjang 3 bulan itu, putri kecil saya ini membuat banyak sekali tindakan yang tidak pernah terpikirkan akan terjadi atau bisa dilakukan oleh anak seusianya. Beberapa hal di antaranya: marah tidak terkendali, berteriak, menangis sampai hampir 1 jam, keras kepala dan selalu mau menang sendiri, merebut, menendang, mencakar, melakukan yang sebaliknya dari apa yang kami minta. Hampir setiap malam terjadi ‘drama’ hanya untuk meminta dia tidur cepat karena di pagi harinya sering terlambat bangun ke sekolah. Hukuman setrap duduk di kursi hukuman sudah seringkali diterapkan namun berulang kali dia akan seperti itu. Dengan kondisi kami sebagai orang tua yang setiap hari sampai di rumah dari kantor jam 7-8 malam kelelahan akibat macet, belum makan malam, dan masih harus menghadapi ulah anak, tingkat kemarahan kami seringkali sudah tidak bisa dibendung, seberapapun kami mencoba keras untuk bersabar. 4 orang pembantu di rumah kami (2 diantaranya babysitter) pun mundur dengan alasan tidak bisa menghadapi putri saya. Shock! Bagaimana caranya anak usia 4 tahun yang mungil ini bisa membuat orang dewasa kewalahan.

Akhirnya petunjuk dari Tuhanpun diberikan di bulan Maret, saat putri saya menelpon ayahnya dan berkata bahwa dia kangen dengan Mbak-nya yang pulang kampung sejak Desember dan tidak balik lagi. OMG! Setelah 3 bulan kemudian dia masih menanyakan Mbak ini. Ternyata dia kehilangan sosok yang selama ini menemani dia selama 1,5 tahun, yang bisa memuaskan keinginan hatinya dan dia tidak mendapatkannya dari orang lain maupun orang tuanya sendiri, paling tidak orang tuanya hanya punya waktu cukup untuknya setiap Sabtu dan Minggu, karena setiap hari kerja hanya punya waktu 30 menit di pagi hari dan 1 – 2 jam di malam hari. Itu ternyata tidak cukup baginya. Itu merupakan sebuah ‘turning point’ untuk kami terutama saya. Selama ini kami pikir dia menjadi anak yang nakal, tidak mau menurut kata orang tua, padahal kenyataannya dia yang ‘kehilangan’, sedih, bingung, mencari kenyamanan di hatinya tetapi tidak bisa mengungkapkan apa penyebabnya. Saat saya menyadari ini, pandangan saya langsung berubah dan berupaya meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengarkan ceritanya, sebisanya pulang kantor lebih cepat dan sampai akhirnya mengambil sebuah keputusan drastis: Berhenti bekerja! Ya, di posisi terakhir saya, sebagai Head of Department tuntutan pekerjaan saya, dan organisasi dimana saya bekerja, sudah tidak memungkinkan untuk saya bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk anak-anak saya.

People used to say you can’t have it all, or you can have it all just not at the same time!

Awalnya saya memang menerima tawaran dari perusahaan untuk mengambil Unpaid Leave selama 2 bulan, namun sebuah perubahan besar yang saya lihat terjadi pada putri saya 2 minggu setelah saya di rumah membuat saya lebih yakin untuk tidak kembali bekerja secara permanen dahulu. Truly amazing, perubahan yang saya lihat terjadi padanya hampir bisa dikatakan 180%. Seakan 3 bulan di awal tahun 2014 lalu bukanlah ia yang sebenarnya, she was like somebody else. Sepanjang hari saya mengantar dan menjemputnya sekolah, les dan meluangkan waktu bermain dengan dia. Walaupun kadang sesekali saya keluar rumah, dia terlihat tidak keberatan. Saya meluangkan waktu mengajarinya membaca, sampai dengan 4,5 tahun dia belum bisa membaca sedangkan Kakaknya sudah bisa membaca sejak 4 tahun. Dalam waktu 1 bulan saya mengajarinya dia sudah bisa membaca bahkan dia menjadi murid yang paling pintar membaca dibandingkan anak sekelasnya. Satu bulan setelah saya berhenti, saya diundang hadir ke acara kenaikan kelas dimana di sana saya dikejutkan dengan fakta bahwa putri kecil saya ini memenangkan piala Juara di bidang Kognitif. Tidak habis pikir dan sangat terharunya saya melihat ini. Sementara di rumah rasanya saya baru saja mendamaikan perang yang terasa tiada ujungnya ternyata di sekolah dia adalah anak yang berprestasi.

Akhirnya, saya memutuskan mengajak dia ke Psikolog anak untuk berkonsultasi karena saya ingin tau lebih dalam lagi bagaimana cara agar saya bisa berkomunikasi lebih baik lagi dengan dia. Melalui sebuah test menggambar dan percakapan dengan Psikolog-lah, sebagian isi hati dan perasaan putri saya terungkap. Ia adalah seorang anak yang cerdas bahkan kemampuan kognitifnya lebih superior dibanding anak seusianya. Dia membutuhkan banyak jawaban untuk segudang pertanyaan yang ada di kepalanya. Otaknya tidak pernah berhenti berputar dan selalu menganalisa apapun yang dia lihat dan dengar. Dia membutuhkan seseorang yang punya banyak sumber daya yang bisa menjawab semua keingintahuannya dan pastinya tidak bisa didapatkan hanya dari seorang pembantu rumah tangga atau babysitter. Satu hal yang tidak bisa saya lupa adalah perkataan Psikolog tersebut kepada saya yang membuat saya menangis “Ibu sudah membuat keputusan tepat dengan berhenti bekerja.” Ya Tuhan, rasanya merinding, karena sejujurnya keputusan berhenti bekerja kali ini merupakan hal yang berat untuk dilakukan mengingat besarnya pendapatan yang harus saya lepas dari pekerjaan tersebut. Tetapi perkataan Psikolog ini benar-benar membuat saya merasa lega dan dikuatkan. Psikolog itu juga mengatakan bahwa ada kemarahan dan agresifitas dalam diri putri saya yang masih belum terlepas oleh sebab itu dengan pendampingan orang tua yang tepat lambat laun diharapkan dia akan memiliki emosi yang lebih seimbang.

Putri saya saat ini sudah kelas 6 SD dan bertumbuh cerdas secara kognitif meskipun secara emosi kadang masih ada momen dimana dia masih sulit mengontrolnya tetapi secara keseluruhan ia sudah sangat baik. Dia berhasil mengembangkan bakatnya dalam seni, yaitu: menggambar dan bernyanyi. Dia sekarang juga sudah lebih mandiri dan sangat dewasa untuk usianya. Kadang kamipun bingung dengan kedewasaan berpikirnya yang lebih cepat daripada Kakaknya dahulu waktu seusianya. Ini membuktikan bahwa anak di abad ini secara genetik pertumbuhannya sangat pesat dibandingkan dahulu, cara mereka berpikir, menganalisa, berlogika, selera makan, selera musik, cara bermain semuanya sangat jauh lebih advance dibanding jaman dahulu. Ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi. Oleh sebab itu cara kita sebagai orang tua mendidik anak sudah tidak relevan jika masih menggunakan cara mendidik jaman dahulu. Cara guru-guru di sekolah mendidik anak-anak jika masih mengandalkan textbook saja tidak lagi relevan untuk mengembangkan potensi anak-anak abad 21 ini.

Nah, kejutan saya yang kedua adalah saat saya menghadiri sebuah Seminar Parenting di bulan Mei 2016 dimana beberapa pembicaranya adalah seorang pakar Creative Technology dalam pendidikan yang juga mantan Kepala Sekolah sebuah institusi pendidikan asing, dan Kak Seto Mulyadi yang terkenal sebagai pakar pendidikan. Judul seminar tersebut adalah “The Future of Education”. Hmm…. Seperti apa pendidikan di masa mendatang?

Secara singkat saya akan simpulkan sebagai berikut:

  1. Kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia sangat cepat dan lebih cepat dari kemampuan seorang guru bisa beradaptasi dengan perkembangan ilmu ini. Saya berkata demikian mewakili mungkin sekitar 50% tenaga guru yang ada saat ini yang mayoritas adalah guru-guru lama (usia di atas 45 tahun) yang masih mengadopsi cara mengajar tradisional yang sangat mengandalkan textbook (buku pelajaran wajib). 
  2. Kemampuan anak menyerap informasi sangatlah cepat, seperti yang terjadi pada anak saya secara genetik otak mereka berputar cepat dan rasa ingin tahu mereka besar, namun mereka belum tentu mendapatkan jawaban atau pengetahuan yang sebanyak yang mereka ingin tahu. Informasi yang diberikan kepada mereka hanya sebatas apa yang ada di textbook wajib saja. Ditambah lagi jika orang tuanya juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak memberikan tambahan pengetahuan pada anak-anaknya. Sehingga mereka mencari jawabannya di internet. Sedangkan tidak semua informasi di internet itu 100% tepat sehingga perlu adanya peran orang tua dan guru yang mendampingi mereka. For your info, bukan hanya pengetahuan, hoaks pun berkembang cepat di internet dan sosial media.
  3. Kurikulum Indonesia di sekolah Nasional sangat padat dan cenderung kejar tayang, sehingga tidak ada banyak waktu untuk guru memberikan materi ‘pengayaan” atau enrichment di luar textbook kepada anak-anak. Padahal enrichment program, penggunaan Information Creative Technology sudah diterapkan di negara maju sejak sebelum tahun 2000. Sehingga banyak anak di negara maju yang memiliki pengetahuan lebih luas dibandingkan anak Indonesia yang bersekolah di sekolah Nasional. Metode pengajaran masih curriculum driven belum enrichment program driven atau project driven dan belum melatih kemampuan Higher Order Thinking Skill (HOTS) / nalar dan kemampuan menulis essay mereka.
  4. Tibalah saatnya sekarang MEA (masyarakat ekonomi Asean) yang membuat 5 – 10 tahun mendatang persaingan usaha atau mencari pekerjaan akan diperebutkan oleh anak-anak lulusan dari semua negara Asia bukan antar anak Indonesia saja. The Biggest Shocking Question is: Is Our Child Ready to compete? Apakah anak kita sudah siap bersaing?

Intinya, peran orang tua dan guru semakin dibutuhkan sebagai sumber pengetahuan anak. Orang tua harus bisa berperan sebagai guru sekaligus fasilitator untuk anak. Tidak bisa lagi kita harapkan anak diberikan buku, duduk diam dan belajar sendiri. Gaya belajar mereka berbeda. Mereka membutuhkan ruang gerak, live experience, touch, feel, watch and browse all information untuk bisa mereka cerna di otak mereka yang sangat kritis.

Orang tua tidak bisa bahkan tidak boleh hanya memberikan gadget sekedar untuk anak bisa duduk diam, tidak berisik dan memberikan anak games apapun. Seharusnya gadget menjadi alat untuk memberikan enrichment knowledge bagi anak dengan mendownload apps atau knowledge tertentu yang berguna untuk menambah ilmu pengetahuan anak, sehingga saat anak bermain mereka juga sekaligus belajar. Sebagai fasilitator, orang tua wajib mencari tahu semua apps atau situs yang berguna untuk anak dan menyediakannya untuk anak dan siap mendampingi dan menjawab pertanyaan anak-anak atau bahkan belajar bersama-sama dengan anak-anak. Oleh sebab itu menjadi orang tua jaman now kita juga masih perlu belajar bukan?

Penting untuk diingat memberikan pengetahuan lewat gadget juga harus disertai dengan monitoring dan filter yang cukup baik dari hardwarenya maupun supervisi orang dewasa di rumah. Karena sayangnya jaman sekarang kejahatan dunia maya – cyber crime pun sangat berbahaya untuk anak-anak kita dan bisa menyusup dalam berbagai bentuk, sampai kata kunci yang kita pikir amanpun untuk anak dalam google search bisa memunculkan link atau gambar pornografi. Secara hardware lakukan blocking sedemikian rupa sehingga situs-situs yang tidak untuk anak-anak tidak bisa diakses. Secara waktu batasi pemakaian gadget (fitur screen time) dan pastikan misalnya jam 9 malam semua gadget dikumpulkan di ruang khusus dan tidak dibawa ke kamar tidur anak.

Ternyata peranan orang tua abad 21 ini semakin rumit, kompleks dan menantang. Peranan orang tua jadi semakin lebih besar dampaknya dibanding dahulu. Jadi punya anak itu bukan sekedar siklus hidup yang harus dijalani layaknya urutan memasak/bikin kue: habis menikah – hamil – melahirkan – cari suster/mbak untuk ngurusin anak.

Ada seorang ibu berkuku cantik hasil manicure yang pernah bilang begini ke saya sewaktu saya menjadi Principal sebuah institusi pendidikan (center) dahulu “aduh saya mah emang gak bisa ngurus anak, jadinya suster itu bener-bener andalan saya.” Ada juga seorang suster yang rajin sekali ajak anak anak asuhnya datang ke center untuk bermain dan berkata “aduh ini anak mah emang disuruh maminya ke sini setiap hari daripada di apartemen ganggu maminya mau tidur siang.” Prihatin 😦

Saya kadang suka bercanda sama teman bilang “Yahhh inilah nasib jadi orang tua, siapa suruh punya anak. Mau punya anak harus berani bertanggung jawab kan?”

Jadi sudah siapkah Anda menjadi orang tua di abad 21 ini?

Lebaran: Happiness or Nightmare for Moms ?

Photo by Max Vakhtbovych on Pexels.com

Baru-baru ini melihat sebuah postingan kocak yang isinya mudik tahun 2022 sudah diperbolehkan tapi yang ditakutkan sebenarnya bukan terjadinya lonjakan kasus covid tapi takut Mbak gak balik lagi – itu yang lebih horor hahaha….. pastinya banyak yang nyambung banget sama postingan ini. Tapi kali ini saya kok tergelitik untuk membahas sudut pandang lainnya.

Sebagai Ibu dengan dua anak yang kesehariannya sebelum pandemi bekerja di kantor selama 5 hari seminggu dari jam 7:30 sudah berangkat kerja dan pulang paling cepat jam 6 sore dengan kemacetan Jakarta kadang bisa sampai jam 7 malam. Maka waktu ngobrol dengan anak hanya saat makan malam, itu juga kalau mereka belum selesai makan malam saat suami dan saya sampai di rumah. Jadi family dinner time itu saya anggap sesuatu yang sangat berharga karena di saat itulah kami bisa bertukar cerita atau lebih tepatnya mendengarkan anak bercerita tentang apa yang mereka alami di hari itu. Saat dinner time itu juga yang dipergunakan kami sebagai orang tua untuk memberikan nasihat, sharing pengalaman hidup, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Anak jaman now pertanyaannya sudah sangat berbobot dan mendalam meskipun usia baru 11 dan 15 tahun lho. Orang tua kadang harus putar otak untuk bisa menjelaskan hal sulit dengan bahasa yang mudah mereka pahami.

Sehingga akhirnya saat momen Lebaran umumnya kami mengambil cuti panjang sehingga bisa ada di rumah kurang lebih 2 minggu sambil menunggu ART kami balik dari mudik. Di momen Lebaran itu tentunya kami berempat punya all the times in the world untuk selalu bersama-sama. Tapi buat para Ibu terutama jadi ada tanggung jawab tambahan yang biasanya tidak pernah / jarang dikerjakan yaitu: memasak, karena tidak mungkin 14 hari order makanan atau makan di restoran pagi, siang, malam bukan? bisa habis donk THR hehehe……….. serta mencuci baju, menjemur dan menyetrika. Belum lagi ada tanaman yang harus disiram setiap hari agar tidak mati, belum lagi kalau masih ada anak di bawah usia 9 tahun yang masih butuh perhatian extra, gak mungkin donk anak dibiarkan seharian ditemenin sama gadget saja. Nah hal-hal ini yang kadang katanya menjadi “nightmare” buat para ibu terutama ibu-ibu yang biasa kerja kantoran terutama karena terjadi transisi dari yang biasanya bekerja lebih banyak duduk di belakang komputer dan putar otak minimal jari-jari yang terlatih mengetik mendadak harus bekerja secara fisik. Naik turun tangga, berdiri non stop bisa sampai 3 jam, melakukan gerakan fisik berulang yang melibatkan tangan, pinggang, punggung, kaki yang jika tidak rajin olahraga bisa menimbulkan masalah seperti rasa pegal yang tidak hilang atau malah keseleo/salah urat istilahnya atau ototnya atau persendiannya ngambek, meradang karena terlalu sering bermain dengan air misalnya jari-jari tangan jadi kaku saat malam menjelang pagi. Mau menghindari hal ini bisa saja ambil saja liburan selama 14 hari dengan menginap di hotel….. tapi imbasnya keluar ekstra biaya, biaya tidur, makan, dan cuci baju sampai biaya belanja.

Jadi apakah ada solusinya agar momen Lebaran ini tidak menjadi nightmare setiap tahun? Mungkin gak sih momen ini menjadi momen yang membahagiakan terutama buat para Mommies?

Jawabannya mungkin, tinggal dicari solusinya. Semua hal pasti ada jalan keluar.

  1. BAGI TUGAS

Seringkali saya temukan banyak dari para ibu ini merasa bahwa pekerjaan rumah hanya akan beres kalau mereka kerjakan sendiri, termasuk awalnya saya sendiri. “Aduh mendingan gw kerjain sendiri deh daripada dikerjakan sama anak nanti gak beres, atau minta tolong suami bisa lama deh.” Alhasil, semakin bertambah usia maka semua pekerjaan rumah yang kita kerjakan sendiri ini bukan hanya semakin menyita waktu kita kumpul bersama keluarga, tapi juga semakin merusak badan sendiri, serta yang paling bahaya merusak mood dan emosi diri sendiri juga. Kelelahan fisik, merasa yang lain bisa enak-enak nonton TV, main games, leha-leha sedangkan kita sendirian kerja dari pagi sampai sore sendirian dan gak bisa menikmati liburan, akhirnya mulai bete, mulai short fuse (sumbu pendek) dan berdampak ke anggota keluarga yang lain. Kuncinya adalah komunikasikan pikiran dan perasaan kita kepada suami dan anggota keluarga lainnya (jika anak-anak sudah cukup dewasa secara pemikiran). Sejak beberapa tahun silam akhirnya kami berbagi tugas, saya beruntung bahwa saya memiliki suami yang dengan senang hati menyapu, mengepel lantai, memasukkan semua pakaian kotor ke dalam mesin cuci, menjemur pakaian, mencuci piring, mengumpulkan sampah- sampah satu rumah dan digantung dengan plastik di depan pagar untuk diambil tukang sampah keliling setiap pagi, sampai menyiram tanaman. Tentu saja agar memenuhi standar ideal kita para ibu, kita harus mentransfer ilmu terlebih dahulu bagaimana caranya menjemur yang benar, baju mana yang bisa masuk mesin cuci mana yang tidak, sabut mana yang dipakai untuk mencuci kuali yang kotor, mana yang anti gores, mana yang untuk gelas. Saat si Kakak semakin besar seingat saya mulai usia 13 tahun mulai mencuci piring makannya sendiri demikian juga sang adik. Lalu semakin besar mereka, mulai ikut membantu menjemur pakaian juga, mengumpulkan pakaian yang sudah kering dan mulai melipat baju-baju rumah untuk dimasukkan ke dalam lemari. Yes, baju rumah tidak perlu disetrika selama masa lebaran praktis kan……. Sehingga tanpa terasa tugas kita para ibu sudah jauh berkurang sehingga kita bisa fokus pada memasak makanan untuk keluarga, mencuci baju yang harus pakai tangan, menyetrika pakaian-pakaian pergi atau membersihkan dapur, meja, dan lemari dari debu (dua hari sekali cukup). Hal ini mengurangi kelelahan para ibu sehingga punya banyak waktu untuk ngobrol bersama-sama dengan keluarga, main games bareng atau nonton film bareng atau istirahat tidur siang.

2. BUAT STRATEGI MASAK

Salah satu cara menyiasati agar kegiatan memasak inipun tidak menjadi momok “menyeramkan” atau melelahkan buat para ibu. Sebelum Mbak mudik tentunya saya sudah meminta Mbak menyiapkan beberapa bekal untuk kami. Pertama, membuatkan ayam kuning dan ayam kalasan, empal daging, rendang yang dibekukan, sehingga saya tinggal menggoreng/memanaskan saja saat dibutuhkan. Menyiapkan bumbu dasar uleg/giling yaitu masing-masing bawang merah, bawang putih, cabai, kemiri, serta bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas sehingga siap diiris saja saat mau memasak atau kalau mau praktis ya beli bumbu siap saji di supermarket tetapi umumnya mengandung msg ya…… bisa juga membeli bumbu siap saji ini di pasar.

Membuat sarapan dengan sesuatu yang simpel seperti roti, telor, sosis tentunya praktis dan cepat. Membuat makan siang yang lebih enak dan lengkap sedikit. Sedangkan malam buat masakan yang lebih sederhana seperti spaghetti atau nasi goreng atau cah sayuran/shabu-shabu. Sesekali beli makanan dari luar untuk makan malam juga sangat membantu sehingga praktis tidak perlu mencuci piring di malam hari.

Jika anak mulai dewasa seperti SMA misalnya mulai ajari mereka untuk memasak makanan simpel seperti goreng sosis dan telor dadar atau scramble egg, dan nasi goreng atau membuat sushi (dalam bahasa indonesia nasi kepel bisa isi apa saja, abon, telor dadar, ikan salmon yang dipanggang) sehingga mereka bisa membuatnya sesekali. Ini juga sangat membantu sekaligus melatih kemandirian mereka.

3. AMBIL WAKTU LIBURAN

Sebagian dari 14 hari cuti lebaran, selain dari merayakan momen lebaran dan bersilahturahmi dengan keluarga tentu sebaiknya tetap dipergunakan untuk berlibur misalnya 7 hari liburan ke tempat wisata yang menyenangkan sehingga semua menikmati waktu “freedom”. Bebas dari tugas, pekerjaan dan rutinitas sehari-hari dan hanya menikmati pemandangan, rileks, olahraga bersama keluarga, makan, dan bermain-main bersama keluarga. Ini tentunya sangat bagus untuk meningkatkan mood bahagia, memberikan diri sendiri “self reward” dan “me time”. Tentunya selama berlibur ini batasi penggunaan HP atau laptop kita dan benar-benar perbanyak waktu untuk melakukan kegiatan dan ngobrol bersama keluarga. Making beautiful memories with them. Banyak hal-hal yang bisa kita pelajari dari anak-anak kita dan juga sebaliknya selama liburan ini, satu hal yang pasti hal ini mempererat hubungan antar anggota keluarga.

4. PAKAI JASA LAUNDRY

Untuk yang tidak mau repot bawa baju/koper terlalu banyak selama berlibur, kita bisa pakai jasa laundry yang banyak di sekitar kota tujuan wisata, tinggal lakukan survei dan pilih yang tepercaya bahkan jasa ini bisa melakukan pick up dan deliver dari/ke hotel tempat kita menginap. Harganya pun sangat terjangkau dan yang pasti lebih murah dari laundry di hotel 🙂

Sesampainya kembali di rumah, jangan terlalu kepikiran urusan cucian baju, pilah baju-baju kotor yang ada dan bawa semua pakaian ini ke laundry kiloan terdekat yang tepercaya. Praktis kan. Sisanya bisa dicuci sendiri sehingga tidak terlalu membebani.

Nah dengan melakukan beberapa cara di atas paling tidak setiap kita bisa tetap merasakan kebahagiaan bersama keluarga meskipun tidak ada si mbak di rumah sehingga lebaran menjadi momen happiness dan bukan “nightmare” buat para Moms di luar sana. Sedangkan urusan si mbak bakal balik lagi atau enggaknya habis lebaran – hmmm….. mungkin buat sebagian Moms masih tetap menjadi momen “horror” kali ya? 🙂

Every Woman is Multifaceted (Setiap Perempuan Memiliki Berbagai Segi)

Photo by Antonio Dillard on Pexels.com

“Every woman is multifaceted. Every woman has a switch, whether she’s going to be maternal, whether she’s going to be a man-eater, whether she has to kick ass, whether she has to be one of the boys, whether she has to show the guys that she’s just as smart or smarter, she’s just as talented or creative. Women suppress a lot of their sides” — Nicki Minaj

Sosok Nicki Minaj memang terlihat nyentrik dengan gayanya yang eksentrik mulai dari cara berpakaian dan warna rambutnya yang menyala. Saya juga bukan penggemar berat rapper satu ini cuma pernah dengar beberapa lagunya yang cukup ngetop. Namun pernyataannya di atas ini cukup menangkap perhatian dan menggelitik saya untuk membahas lebih lanjut.

Setuju, menurut saya perempuan itu memiliki berbagai segi kehidupan. Perempuan itu memerankan lebih dari 2 peranan dalam hidupnya yang disebut multifaset dan perempuan selalu berusaha memastikan setiap peran ia perankan dengan sebaik-baiknya layaknya seorang badut pemain sirkus yang melempar 4 bola ke udara dan menangkapnya bergantian dan memastikan tidak ada satupun bola yang jatuh ke tanah. Bedanya dalam kehidupan nyata bola ini adalah seperti bola kristal yang jika jatuh akan pecah berantakan.

Berapa banyak dari perempuan yang memerankan peranan sebagai: istri, ibu untuk anak-anaknya, perempuan yang bekerja / pengusaha, manajer rumah tangga, putri dari orang tuanya? Tambahan lagi peran sebagai manajer keuangan keluarga jika seluruh manajemen keuangan keluarga diserahkan penuh kepada sang istri, serta peranan lainnya yang seringkali tidak diberikan label: juru masak keluarga, sopir pribadi anak-anak, party dan document organizer. Saya yakin pasti banyak yang acung jari dan berkata “ini saya banget!”

Coba bayangkan tanpa peranan manajer rumah tangga, waktu mau masak, ehhh minyak habis, bawang habis……, perempuan memastikan persediaan kebutuhan rumah tangga selalu ada di dalam lemari saat dibutuhkan. Jika perempuan tidak berperan sebagai pengatur dokumen atau barang-barang yang baik apa yang terjadi jika anak bertanya “Ma, dasi saya dimana ya?, Ma, buku saya yang itu kok gak ada ya?, Ma, dokumen kantor Papa yang kemarin dimana ya? Ma, kacamata Papa dimana ya?”. Serta pada umumnya jika orang tua kita yang sudah usia lanjut membutuhkan pertolongan, sewajarnya kita sebagai putri mereka yang membantu mereka baik itu memasak untuk mereka atau menemani mereka ke dokter (ada juga anak laki-laki yang berperan aktif seperti ini tetapi mayoritas sih masih perempuan). Perempuan berusaha memainkan semua peranan ini dengan seimbang namun tentu saja karena perempuan bukan wonder woman atau supergirl, mereka punya keterbatasan.

Perempuan khususnya ibu rumah tangga bisa mengalami kelelahan secara fisik. Bayangkan dari subuh mereka sudah bangun untuk menyiapkan sarapan keluarga, berlanjut dengan mencuci dan menjemur pakaian yang sudah menumpuk dari hari sebelumnya, menyelesaikan menyetrika pakaian yang sudah kering dari hari sebelumnya, dan tanpa terasa sudah waktunya mereka memasak makan siang untuk keluarga sebelum mereka menjemput anak-anak pulang sekolah (sebagai info semua pekerjaan ini dilakukan kebanyakan sambil berdiri dan bolak-balik atau naik turun tangga lho jika rumahnya dua lantai – kebayang pegalnya kaki dan berapa banyak varises yang muncul di kaki?). Beruntunglah yang memiliki sopir atau menitipkan anak-anaknya pada bis jemputan sekolah.

Seorang perempuan harus siap mengantarkan anak les, membantu anak dengan PR atau ulangan mereka. Di sore harinya mereka harus bersiap-siap untuk memasak makanan untuk makan malam dan menutup harinya dengan mencuci piring kotor dan membersihkan dapur serta merencakan menu masak untuk keesokan harinya. Percayalah rutinitas ini jauh lebih melelahkan secara fisik dibanding perempuan yang bekerja kantoran. Oleh sebab itu perempuan membutuhkan support system / sistim pendukung yang baik. Contoh: jika anak sudah mulai besar bisa melatih mereka untuk mencuci piring kotor, anak laki-laki dan suami bisa membantu menyapu dan mengepel lantai, anak perempuan bisa membantu mencuci atau menyetrika pakaian sesekali. Hal ini selain akan sangat membantu sang ibu, sekaligus melatih kemandirian anak-anak sejak kecil. Tentu saja pendukung berikutnya adalah asisten rumah tangga, jika kita beruntung mendapatkan yang setia dan cekatan.

Bagaimana dengan perempuan yang bekerja di kantor? Situasi mereka memang lebih sedikit nyaman selain 8 jam di ruangan ber-AC, lebih banyak duduk daripada berdiri dan hilir mudik, paling tidak tangan mereka tidak banyak harus bersentuhan dengan deterjen atau sabun pencuci pakaian atau piring yang umumnya membuat tangan jadi kasar. Tetapi mereka tetap harus memerankan peranan sebagai pendidik untuk anak-anak mereka, istri yang baik, manajer rumah tangga, serta putri dari orang tua mereka. Ada kalanya seorang perempuan mengalami tegangan tinggi karena deadline pekerjaan atau kepala berasa panas berasap karena meeting bertubi-tubi yang semuanya membutuhkan pemikiran yang berbeda-beda. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka karena saat di kantor sebagai pemimpin mereka harus ada di depan barisan, mengolah data, dan mengambil keputusan cepat, bahkan harus berkonfrontasi dengan pihak lain jika diperlukan. Namun sesampainya di rumah panas & tegangan di kepala harus dikendorkan dan switch berganti peran sebagai ibu yang sabar menghadapi anak-anak yang kadang bisa membuat ulah yang menguji kesabaran, memantau perkembangan belajar anak di sekolah, menjadi pendengar yang baik bagi mereka.

Sebagai manajer rumah tangga perempuan juga harus bisa mencatat dan meluangkan waktu untuk memastikan kebutuhan rumah tangga selalu tersedia. Belum lagi peranan sebagai istri, menjadi teman diskusi atau pendengar yang baik bagi sang suami. Tidak mudah memerankan semua ini dengan sama baiknya dan seimbang. Seringkali perempuan harus menekan gaya kepemimpinannya / pengambilan keputusan di rumah demi menghargai suami. Seringkali perempuan harus mengatur waktunya atau mengurangi aktifitas untuk networking di luar jam kantor demi meluangkan waktu lebih banyak untuk anak-anak. Bahkan perempuan seringkali mengorbankan ‘me time’ nya atau hobinya demi kepentingan keluarga. Padahal perempuan itu juga manusia biasa yang membutuhkan aktualisasi diri, ia juga berhak berperan menjadi dirinya sendiri – bukan menjadi istri, ibu, pemimpin di kantor, manajer rumah tangga, dan putri kesayangan orang tuanya. Perempuan juga tidak mau kehilangan dirinya sendiri.

Buat para pria yang membaca tulisan ini, ketahuilah sebelum Anda menikahi perempuan yang kini menjadi istri Anda. Dia adalah seorang gadis yang memiliki impian, cita-cita, hobi, atau talenta yang jika dikembangkan lebih lanjut tentu dia akan menjadi manusia yang mencapai aktualisasi dirinya secara maksimal. Namun apakah setelah menikah apalagi memiliki anak, apakah perempuan itu masih bisa mencapai impiannya, melakukan hobi yang disukainya, mengembangkan talenta yang ia miliki sampai maksimal? atau malahan semuanya itu sirna terkubur oleh tanggung jawab dan multi peran yang harus ia mainkan dengan seimbang? atau bahkan ia kehilangan kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri atau mendapatkan aktualisasi diri yang membuatnya bahagia? Apakah Anda sebagai pasangan memberikan dorongan, dukungan, dan pengakuan terhadap istri Anda terhadap hal-hal yang bisa membuat ia bangga dengan dirinya atau bangga dengan hasil kerjanya? Recognition (pengakuan) itu ditunjukkan, diucapkan, dan bahkan dituliskan lho. Perempuan perlu mendengar dan melihatnya

Buat para perempuan di luar sana, ketahuilah bahwa setiap manusia diberikan talenta yang perlu dikembangkan, bahwa kita membutuhkan recognition (pengakuan / penghargaan), kita membutuhkan aktualisasi diri yang membuat kita bisa bangga dengan diri sendiri. Bejana yang penuh akan bisa terus memberi. Artinya jika sebagai bejana kita memberikan diri kita, tenaga dan waktu kita terus menerus tanpa kita sendiri diisi, suatu saat bejana itu akan kosong, kering, habis. Sebagai perempuan, apakah pujian dari keluarga tentang masakan Anda yang enak sudah cukup untuk Anda? atau Anda punya talenta lain membuat kue yang bisa dijual dan menghasilkan uang jajan untuk diri Anda sendiri? atau Anda punya talenta melukis atau bermain musik seperti Ibu Veronica Tan yang akhirnya bisa membuat konser amal atau sekedar bermain di panggung untuk kebahagiaan batin? Jika Anda merasa bejana Anda mulai kering, cari dan temukan suatu bentuk aktifitas yang bisa menjadi sumber aktualisasi diri Anda, segera isi bejana Anda dengan sesuatu. Ada yang mulai ikut marathon atau naik sepeda, selain sehat, memicu hormon endorphin yang menghilangkan stress dan sakit. Ada yang ikut kelompok pengajian, ada yang ikut komsel atau bible study, ada yang menulis, ada yang ikut kursus masak, ada yang ikut arisan, ada yang ikut multi level marketing, ada yang jadi aktivis sosial, ada juga yang jadi agen asuransi.

Nah, karena setiap perempuan itu multifaset jangan biarkan sisi lainnya dari perempuan ini tertekan dan sirna melainkan berikan kesempatan, berikan semangat, dan dukung perempuan untuk mengembangkan sisi-sisi lainnya yang terpendam sekian lama agar mereka bisa mengaktualisasikan dirinya dan meraih kebahagiaan untuk dirinya sendiri.

Pernikahan adalah kesepakatan dua pihak untuk menjalani hidup bersama tetapi bukan untuk meleburkan dirinya 100%. Kedua pihak berjalan dan bertemu di titik tengah, artinya minimal masih ada 50% dari dirinya atau kepribadiannya masing-masing yang perlu dihargai, dikembangkan, dan dipertahankan.

What is Modern Kartini?

Photo by cottonbro on Pexels.com

Saat saya memutuskan membuka blog ini dan menentukan sebuah nama, saya langsung terpikir “Modern Kartini”. Berikut ini adalah beberapa pemikiran yang ada saat dua kata ini terlintas di benak saya.

Raden Adjeng Kartini di tahun 1891 saat berusia 12 tahun harus dipingit, tidak diperbolehkan keluar rumah, namun proses pendidikannya tidak berhenti sampai di situ. Sebelum usia 20 tahun dia sudah menyelesaikan banyak bacaan, salah satunya adalah buku novel Max Havelaar, ia juga membaca koran Semarang untuk menambah pengetahuannya selain terus bertukar pikiran melalui surat menyurat dengan sahabatnya Rosa Abendanon yang mengembangkan pemikirannya tentang feminisme modern. Buah pemikiran beliau sampai sekarang menurut saya masih sangat relevan contohnya:

  1. Teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi!
  2. Kalimat “Aku mau!” membuat kita mudah mendaki puncak gunung.
  3. Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang.
  4. Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tetapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri

4 buah pemikiran di atas dari semua buah pemikiran RA Kartini lainnya adalah beberapa hal yang bisa menjadi reminder bagi kita para perempuan di dalam memperjuangkan hak-haknya. Beberapa perjuangan tersebut seperti: hak diperlakukan sama dengan para laki-laki di dalam karir dan kedudukan status sosial tanpa adanya bias, hak mendapatkan pendidikan tinggi dan berkarya bukan hanya menikah, menjadi seorang istri, dan mengurus rumah tangga atau anak semata. Hak mendapatkan keseimbangan peranan di dalam merawat dan mendidik anak-anak sehingga paradigma yang berkata “suami tugasnya mencari uang, urusan rumah tangga dan pendidikan anak di rumah adalah tanggung jawab istri 100%” perlahan bisa bergeser dan hilang.

Laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama manusia biasa yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan seperti yang dijelaskan dalam piramid Abraham Maslow’s Hierarchy of Needs di bawah ini. Hal ini berarti perempuan apapun profesinya termasuk ibu rumah tangga tetap membutuhkan semuanya ini dan yang seringkali terabaikan adalah dua piramida teratas yaitu self esteem dan self actualization. Perempuan dengan naluri keibuannya yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan suami juga membutuhkan hal lainnya seperti: rasa percaya diri, penghargaan / mendapatkan rasa hormat dari orang lain, sense of achievement atau pengakuan, kreatifitas atau kesempatan berkreasi untuk mengaktualisasikan kemampuannya. Nah untuk mencapai itu tentunya ada proses yang harus dijalani dan ada interaksi dengan orang sekeliling yang harus dihadapi.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/58/Maslow%27s_hierarchy_of_needs.svg/512px-Maslow%27s_hierarchy_of_needs.svg.png

Semoga blog ini akan menjadi sumber inspirasi bagi para perempuan tetapi juga bisa menjadi sumber informasi atau referensi bagi para laki-laki untuk lebih memahami perempuan dan memberikan kesempatan dan ruang lebih buat para perempuan di luar sana sehingga para perempuan bisa menjadi manusia seutuhnya, mengoptimalkan potensinya, dan berkontribusi bagi sekelilingnya. Amin.

Women’s Leadership Part 2: Choose To Challenge Ourselves and The Society at The Same Time

Photo by Rebrand Cities on Pexels.com

#choosetochallenge adalah hashtag yang dipergunakan International Women’s Day Community untuk memperingati Hari Perempuan Internasional di tahun 2021. Umumnya kita para perempuan berpikir bahwa tantangan ini bersifat satu arah ke luar, seperti menolak perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan, menentang perlakuan yang bersifat harassment / pelecehan terhadap perempuan seperti cat-calling atau komentar terhadap tubuh perempuan. Tetapi ternyata #choosetochallenge ini jika digali lebih dalam sebenarnya bersifat dua arah: ke luar dan ke dalam.

Di bulan Maret 2021 lalu saat saya hadir sebagai moderator di dalam sebuah acara online untuk komunitas internal yang menghadirkan tiga narasumber perempuan yang sudah berkarir puluhan tahun di bidangnya, yang seringkali harus berurusan dengan para pria, terungkap beberapa fakta yang penting untuk diketahui para perempuan. Acara tersebut membahas bagaimana kita perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan pria untuk mengembangkan karir kita. Nomor satu pastinya kita bukan hanya menyuarakan ketidakadilan dalam bentuk protes atau komplen saja tetapi mari kita introspeksi dahulu ke diri sendiri dan mencari tahu apa saja kelebihan dan kekurangan kita dan melihat apa kelebihan dan kekurangan para pemimpin pria di luar sana. Sama seperti di dalam ilmu marketing, esensinya bagaimana kita perempuan bisa memasarkan kemampuan/ keahlian kita sehingga kita bisa unggul dari kompetitor kita. Bagaimana kita bisa menonjolkan kelebihan kita dan memperbaiki kelemahan kita menjadi lebih baik.

Recently updated research shows that women in leadership positions are perceived as being every bit as effective as men. In an analysis of thousands of 360-degree assessments, women were rated as excelling in taking initiative, acting with resilience, practicing self-development, driving for results, and displaying high integrity and honesty. In fact, they were thought to be more effective in 84% of the competencies that we most frequently measure. Men were rated as being better on two capabilities: “develops strategic perspective” and “technical or professional expertise.” However, a different analysis of the same data showed that when women are asked to assess themselves, they are not as generous in their ratings. In fact, they have lower scores than men on confidence ratings, especially when they’re under 25. At age 40, the confidence ratings merge. Men gain just 8.5 percentile points in confidence from age 25 to their 60+ years. Women, on the other hand, gain 29 percentile points. Women make highly competent leaders, according to those who work most closely with them — and what’s holding them back is not lack of capability but a dearth of opportunity.

https://hbr.org/2019/06/research-women-score-higher-than-men-in-most-leadership-skills

Dari hasil penelitian yang dibuat Zenger/Folkman, sebuah konsultan pengembangan kepemimpinan yang dipublikasikan di artikel Harvard Business Review di atas terlihat bahwa pemimpin perempuan sama efektifnya dengan pemimpin pria. Bahkan pada 84% kompetensi yang diukur terlihat perempuan lebih unggul dan ada beberapa kompetensi yang sangat menonjol pada perempuan yaitu pada pengambilan inisiatif, kemampuan untuk bangkit lagi dari sebuah hantaman (bounce back), upaya untuk mengembangkan diri sendiri, dorongan untuk mencapai hasil, serta integritas tinggi dan kejujuran. Masih ditambah lagi dengan karakter perempuan yang saya bahas di tulisan sebelumnya yaitu empati, transparansi, serta membangun hubungan yang engaging. Namun kekurangan pemimpin perempuan saat ini masih lebih disebabkan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk memimpin yang juga disebabkan oleh masih adanya unconcisous bias (anggapan/prasangka yang keliru yang tidak disadari) terhadap perempuan.

Kembali lagi ke #choosetochallenge ternyata ada beberapa karakter perempuan yang perlu di challenge lebih lanjut oleh diri kita sendiri jika kita hendak memposisikan diri kita setara dengan para pemimpin pria di luar sana.

confidence

Dari penelitian di atas terlihat perempuan masih berjuang dalam isu kepercayaan diri. Hal ini bukan berarti perempuan minder melainkan lebih pada sebuah situasi jika seorang perempuan harus meyakinkan banyak pria di hadapannya di dalam sebuah presentasi atau meeting misalnya, mereka biasanya sudah punya pikiran yang melemahkan diri sendiri seperti “aduh nanti kalau aku tidak bisa jawab gimana?”, “aduh nanti kalau aku bicara seperti ini aku dibilang sok lagi atau takut si A tersinggung”, “aduh mendingan diam saja deh daripada jadi sorotan.” Hal-hal inilah yang seringkali membuat pemimpin perempuan jadi terlihat kurang percaya diri dan kurang berani speak up / kalah bicara dibandingkan para pria. Dalam acara online Maret lalu kita sepakat bahwa perempuan memang harus melakukan hal-hal ekstra jika ingin berkembang dalam karirnya. Kerja keras lebih ekstra untuk menguasai semua bahan presentasi atau bidang pekerjaan yang ia pimpin dan mengasah kemampuan berpikir strategis dan analitisnya. Banyak membangun hubungan dengan orang-orang di sekeliling terutama dengan para pria untuk memelajari cara berpikir mereka juga. Semua ini jika dilakukan dengan tepat akan sangat membantu membangun kepercayaan diri perempuan. Cause you know very well what you are doing and what you are saying and you are the expert on what you do. Be confident!

ASSERTIVE

Menjadi seorang yang asertif erat kaitannya dengan Confidence. Orang yang asertif adalah orang yang memiliki kepercayaan diri dan dapat mengungkapkan apa yang dia pikirkan dengan cara yang positif sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai. Pemimpin perempuan perlu memiliki kompetensi untuk berkomunikasi secara terbuka, dapat menghargai diri sendiri dan orang lain, dan mampu menyatakan pendapat pribadi dengan lugas dan tegas, mampu mempertahankan apa yang dia percaya ‘benar’ dan tahu bagaimana mengatakan ‘tidak’ dengan cara yang tepat tanpa menyinggung perasaan orang lain. Kompetensi ini bukan bawaan lahir yang dimiliki semua orang secara instan alias perlu dilatih. Sikap asertif ini erat kaitannya dengan keberanian untuk speak up, berargumentasi/berpendapat yang mengalahkan rasa sungkan tapi bukan agresif. Sikap asertif lainnya juga bisa berupa meminta kesempatan atau mengajukan diri untuk memimpin sebuah projek misalnya – seize the opportunity. Semakin sering perempuan menunjukkan sikap asertifnya semakin banyak kesempatan untuk kita merubah lingkungan sosial kita yang membuat kesempatan untuk perempuan berkembang juga semakin terbuka. Every woman can train herself to be assertive!

manage emotions

Jangan ‘baper’! Salah satu kunci dari kesuksesan seorang pemimpin adalah dia tidak membiarkan perasaannya mempengaruhi keputusannya maupun profesionalitasnya sebagai pemimpin. Don’t let your feelings cloud your judgments! Emosi adalah bagian dari hidup manusia. Jadi hanya robot yang tidak bisa marah. Ajaibnya jika pemimpin pria marah orang melihatnya sebagai ‘killer’ dan jarang yang memberikan komentar lebih lanjut, tapi jika seorang pemimpin perempuan marah orang banyak menggunakan istilah “judes/jutek”, “bossy”, “terlalu emosional”. Ini saja sudah merupakan sebuah challenge tersendiri bagi para pemimpin perempuan. Manage emosi kita, jika deadline dilanggar karena anggota team lalai menyelesaikan tugasnya tanpa alasan yang masuk akal dan mengakibatkan dampak terhadap pencapaian target wajar kalau kita tegur dengan sedikit keras alias marah dalam batas wajar. Jika anggota team datang terlambat ke kantor 30 menit dari jadwal masuk kantor untuk pertama kalinya tentu kita tidak perlu marah cukup menanyakan apa sebabnya dan mengingatkan agar tidak mengulangi lagi secara baik-baik. Intinya choose your reaction wisely! Di sisi lain, jika dalam sebuah meeting ada kolega kita terutama pria memancing emosi kita dengan menentang ide kita bahkan sampai merendahkan, kontrol emosi kita dan lawan dengan data. Dengan data dan fakta yang cukup kita bisa menang dalam sebuah argumentasi selama terkait bisnis bukan personal. Kadang di dalam sebuah meeting kita bisa mundur selangkah, untuk kemudian mengatur ulang strategi dan meraih kemenangan lewat pendekatan yang berbeda. Jika sudah masuk ranah personal kita berhak berkata dengan tegas bahwa kita tidak suka dengan perkataan tersebut dan ini sudah diluar konteks meeting dan merupakan komentar personal. Sepanas apapun diskusi yang terjadi, setajam apapun komentar yang kita terima baik dari pimpinan kita atau kolega kita selalu cari inti pesan yang ingin disampaikan, jika memang pesannya menuntut kita merubah strategi kita lakukanlah karena siapa tau komentar tersebut ada unsur baiknya. Jangan terlalu lama memikirkan setiap perkataan tajam yang dilontarkan, jangan terlalu analisa berlebihan diri sendiri atau terbawa perasaan terlalu lama. Belajarlah dari para pria yang umumnya keluar dari ruangan meeting bersikap seakan-akan tidak terjadi apapun di ruangan tersebut, atau minimal 30 menit kemudian sudah move on!

Ini hanya 3 karakteristik dari beberapa hal lainnya yang menjadi tantangan bagi kita perempuan agar kita bisa menjadi pemimpin yang lebih baik. Percayalah, where there’s a will there’s a way! Perempuan pasti bisa menjadi pemimpin yang sama kualitasnya dengan para pria.

Women’s Leadership Part 1: We Need More Women Leaders in This Fast Changing World

Dunia berubah sangat cepat sepanjang lebih dari 1 dekade ini ditandai dengan munculnya smart phone dengan berbagai macam aplikasi pintarnya, situs dan aplikasi belanja online, munculnya aplikasi ojek online, yang pada awalnya hanya dinikmati oleh orang berusia 40 tahun ke bawah hingga lambat laun mulai dinikmati manfaatnya sampai dengan orang berusia 80 tahun dan masih banyak perubahan lainnya yang di tahun 90-an tidak pernah terpikir akan ada. Puncak perubahan dunia ini yang paling dahsyat sampai saat tulisan ini dibuat paling tidak menurut saya adalah serangan virus corona yang menyebabkan pandemi covid-19 di tahun 2020 lalu yang masih berlangsung sampai 2021. Semua perubahan ini menyebabkan manusia harus belajar menghadapi hal yang baru, yang bisa beradaptasi akan bisa bertahan bahkan menikmati kebiasaan atau gaya hidup yang baru. Perubahan ini juga menuntut cara berpikir yang baru, cara yang berbeda dengan sebelumnya.

Bicara masalah perbedaan cukup menggelitik untuk dibahas dari sudut pandang perempuan karena perempuan umumnya mengalami perlakuan yang berbeda dibanding pria. Namun pembahasan kali ini lebih berfokus kepada tema yang diumumkan oleh United Nation Women pada 8 Maret 2021 dalam rangka International Women’s Day yaitu, “Women in Leadership: Achieving An Equal Future in A COVID-19 World” atau kepemimpinan perempuan untuk mencapai kesetaraan di masa depan di dunia yang sedang terkena pandemi covid-19 ini serta hashtag atau tagar yang dicanangkan situs International Women Day yaitu #choosetochallenge atau dengan kata lain perempuan didorong untuk memilih sikap menolak/mengkonfrontasi atau tidak menerima jika ada perlakuan yang berbeda yang diterimanya.

Perbedaan kepemimpinan perempuan mulai disorot setelah pandemi ini terjadi, mulai dari media luar negeri seperti Bloomberg, New York Times, BBC sampai media lokal seperti Kompas memberitakan tentang kesuksesan pemimpin negara perempuan yang berhasil mengatasi pandemi di negara mereka sehingga jumlah kasus bisa ditekan ke level minimal. Jacinda Ardern, Perdana Menteri New Zealand adalah salah satu contoh pemimpin perempuan yang berhasil menekan kasus pandemi covid-19 hingga angka korban yang meninggal hanya mencapai 26 orang saja sampai dengan Maret 2021. Apa sebabnya? Beberapa karakteristik yang menonjol dalam kepemimpinan perempuan yang terlihat dari semua pemberitaan yang ada yaitu adanya: transparency (keterbukaan baik dalam menerima maupun menyampaikan informasi), empathy “put people first”(dalam hal ini naluri melindungi warganegaranya), dan sudut pandang yang berbeda seperti yang dikatakan seorang professor dari Harvard Business School di bawah ini.

Women leaders can bring fresh perspective to economic policy, experts say. “When you’re different from the rest of the group, you often see things differently,” said Harvard Business School professor Rebecca Henderson, author of Reimagining Capitalism In A World On Fire.

https://www.straitstimes.com/business/women-are-running-and-trying-to-fix-the-us-economy

Pemimpin perempuan dinilai lebih terbuka untuk mendengarkan banyak masukkan dari banyak pihak, lebih mempertimbangkan banyak faktor-faktor untuk kepentingan orang banyak terutama yang lebih lemah, dan terbuka pada solusi-solusi yang berbeda. Pemimpin perempuan juga bisa menyampaikan informasi dengan lebih terbuka dan tulus dengan bahasa yang mengundang simpati atau mengajak audiens ikut terlibat di dalamnya (engaging).

Kehadiran pemimpin perempuan diharapkan bisa memberikan sudut pandang berpikir yang baru atau perspektif yang berbeda baik itu dalam bidang ekonomi maupun lainnya sehingga bisa memunculkan kebijakan atau kegiatan baru yang menyentuh aspek yang selama ini belum tersentuh oleh para pemimpin pria. Itulah sebabnya dibutuhkan lebih banyak pemimpin perempuan di masa mendatang untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi.

“When women are involved, the evidence is very clear: Communities are better, economies are better, the world is better,” Dr Georgieva said in January, citing research compiled by the IMF and other institutions.